PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk (Bank Muamalat) beberapa tahun terakhir diterpa isu yang tidak sedap, bank syariah pertama di Indonesia tersebut dinyatakan terancam bangkrut. Hal ini dikarenakan kondisi keuangan Bank Muamalat sejak tahun 2015 mencatat kinerja yang tidak menyenangkan. Bahkan di tahun 2017, ada angin segar bagi Bank Muamalat yang akan memiliki ‘juragan’ baru. Namun di awal tahun 2018, kabar tersebut hanya menjadi angin lalu saja.

Di sekitar September 2017, diberitahu bahwa Bank Muamalat sudah mendapatkan pembeli, yaitu PT Minna Padi Investama Sekuritas, Tbk yang akan membeli bank ini. Bahkan PT Minna Padi sudah menandatangani perjanjian untuk mengambil saham dalam rangka Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) sebagai pembeli siaga.

Melansir dari keterbukaan informasi yang diterbitkan oleh korporat, pada situs Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (27/9/2017), nilai transaksi yang dihasilkan sebesar Rp 4,5 triliun. Dari angka sebesar tersebut, PT Minna Padi akan memiliki 57 % saham Muamalat.

Gagalnya PT Mina Padi Sebagai ‘Juragan’ Baru

Entah, mengapa di awal Februari 2018 ini, PT Minna Padi me

ngatakan tidak jadi menjadi ‘juragan’ baru bagi Bank Muamalat. Melansir dari Kompas.com gagalnya PT Minna Padi mengakuisisi Muamalat dikarenakan berakhirnya conditional share subscription aggreement (CSSA) yang berakhir sejak 31 Desember 2017.

“Kami sudah dimintai konfirmasi oleh Muamalat, CSSA berakhir, sehingga tidak lagi menjadi standby buyer,” terang Direktur PADI Harry Danadjojo, Rabu (7/2/2018).

Menurut Harry seperti dilansir dari Republika.co.id, untuk bisa masuk ke dalam industri yang memiliki regulasi tingkat tinggi seperti perbankan itu tidak mudah. Sebab, ada proses revitalisasi yang cukup tinggi. Buktinya banyak regulasi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Minna Padi hingga berakhirnya CSSA.

Bangkrut atau Butuh Dana Segar?

Beberapa pengamat mengatakan, Bank Muamalat yang sedang ‘hunting’ investor baru terancam mengalami kebangkrutan. Dikarenakan Muamalat kekurangan modal, non performing financing (NPF), serta beban operasional yang cukup tinggi.

Hal tersebut dialami oleh Muamalat dikarenakan mereka mengalami masalah pada penyaluran biaya. Di tahun 2015 Muamalat pernah mencatatkan persentase NPF hingga 7 %. Banyak pengamat yang beranggapan, jika terjadi sesuatu terhadap Muamalat, kondisi ini akan berdampak pada perekonomian syariah.

Padahal saat ini, Pemerintah sedang mengencarkan ekonomi syariah. Untuk itu pemerintah diharapkan memberikan perhatian bagi masalah yang terjadi pada Bank Muamalat saat ini. Sehingga tidak akan menganggu perekonomian dan perbankan syariah di Indonesia.

Ada dua hal yang menjadi alasan kenapa Muamalat membutuhkan kucuran dana segar dari para investor. Yang pertama, Muamalat membutuhkan CAR (Capital Adequancy Ratio) yakni rasio kecukupan modal yang berfungsi untuk menampung risiko kerugian yang mungkin saja terjadi pada setiap bank.

Semakin tinggi jumlah CAR yang dimiliki, akan semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung berbagai risiko dari kredit atau aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR cukup tinggi, maka bank akan mudah dalam membiayai kegiatan operasional dan kontribusi bagi profitabilitas bank tersebut.

Berdasarkan kinerja keuangan Bank Muamalat di semester pertama 2017 menunjukan angka kecukupan modal yang masih rendah hanya 12,83 persen. Masih dibawa rata-rata CAR bank syariah sebesar 16,9 persen. Apabila Bank Muamalat mendapatkan kucuran dana segar hingga Rp 4,5 triliun, maka bisa memperbesar CAR bank syariah tersebut hingga 23 persen.

Hal kedua yang menjadi alasan Bank Muamalat membutuhkan dana segar untuk memiliki modal inti. Dalam dunia perbankan, modal inti ini akan sangat penting karena akan mempengaruhi keamanan dan kekuatan bank tersebut dalam menghadapi risiko operasional.

Jika sebuah bank memiliki modal inti yang besar, maka semakin aman dana nasabah yang ada di bank tersebut. Agar sebuah bank bisa memiliki keamanan dan berada pada kategori BUKU III (Bank Umum Kegiatan Usaha), maka bank tersebut harus memiliki modal inti minimal Rp 5 triliun hingga maksimal Rp 30 triliun.

Pada Juni 2017, Bank Muamalat memiliki modal inti sebesar Rp 3,6 triliun, dan masuk dalam kategori BUKU II. Jika Bank Muamalat berhasil mendapatkan investor yang mau mengucurkan dana hingga Rp 4,5 triliun maka modal initi Bank Muamalat akan menjadi Rp 8,1 triliun. Dan Muamalat akan naik kelas menjadi bank BUKU III.

Seperti yang dikutip dari Detik.com, saat ini Bank Muamalat memiliki aset per September 2017 sebesar Rp 57,71 triliun tumbuh sekitar 3,46 % dibandingkan September 2016 yang hanya Rp 55, 78 triliun. Sementara itu, laba bersih yang diperoleh Muamalat tercatat hanya Rp 34,17 miliar lebih rendah dibandingkan periode September 2016 yang mencapai Rp 37,95 miliar.

Siapakah yang Akan Jadi ‘Juragan’ Muamalat?

Setelah PT Minna Padi mengundurkan diri sebagai Standby buyer Muamalat, banyak desas desus siapa yang akan menanamkan uangnya di bank syariah pertama di Indonesia tersebut. Hingga saat ini, ada satu orang yang digadang-gadang akan memberikan kucuran dana kepada bank yang identik dengan warna ungu ini.

Salah satu nama yang sedang ramai dibicarakan yang akan akuisisi bank Muamalat yakni dai kondang Indonesia, Yusuf Mansyur. Nama Yusuf Mansyur muncul, setelah dia mengajak masyarakat Indonesia untuk membuka rekening di Muamalat Tower yang terletak di bilangan Jakarta Selatan secara bersama-sama pada 28 Februari 2018.

Ajakan tersebut, dilakukan oleh Yusuf Mansyur melalui akun instagramnya. Bahkan pendiri Paytren ini membuat dua postingan untuk mengajak masyarakat membuka rekening secara bersama-sama di Muamalat. Kampanye yang dilakukan oleh Yusuf Mansyur semakin meyakinkan banyak pihak, bahwa ialah yang akan memberikan dana segar sebanyak Rp 4,5 triliun ke Bank Muamalat.

Mungkinkah ajakan tersebut menjadi salah satu cara Yusuf Mansyur untuk menunjukan bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadi ‘juragan’ Muamalat? Kita nanti saja siapa yang akan menjadi Juragan baru Bank Syariah tertua di Indonesia tersebut.

klik accurate online